Jumat, 29 Juli 2016

Bandara Hasanuddin kini dan dulu

Bandara Hasanuddin kini dan dulu
Sambil Meneguk kopi di bandara Hasanuddin, saya memperhatikan begitu banyak perubahan . Bandara International yang dahulu bernama Mandai kini semakin cantik. Tahun 78 menjadi Kenangan pertama saya ,dengan tempat yang masih kami sebut dengan nama lapangan terbang Mandai. Saat itu kami mengantar ayah yang akan terbang ke Jakarta selanjutnya menuju Bandung. Lapangan terbang hanya dibatasi kawat seadanya, memungkinkan kami melihat pesawat yang hanya satu satunya itu mengangkasa. Pesawat dengan tulisan garuda berwarna oranye itu perlahan naik dan menghilang di angkasa kota Maros.
Tahun 89 menjadi saat pertama saya mendarat di bandara kebanggaan warga Makassar ini. Penerbangan dengan Merpati dari sepinggang Balikpapan, memberi kesempatan pertama kali melihat kota Makassar dari udara. Bangga rasanya menjejakkan kaki di tanah kelahiran sendiri. landasan yang belum terlalu panjang, namun tiga buah pesawat sudah menghiasi lapangan udara itu, Garuda Merpati dan Bouraq dengan garis warna hijau di badannya.
Petugas Porter berseragam kuning masih bisa dihitung jari saat itu, mereka berkumpul di pintu keluar menunggu orderan. Kami hanya perlu mengingat nomor punggung sambil menunggu di TAXI. Seiring banyaknya penerbangan, petugas Porter semakin banyak dan Tak jarang berebut penumpang. Beberapa Porter tak resmi kadang terkesan memalak penumpang dengan hanya sekedar membukakan pintu taksi. Kini semua sudah tak ada, penumpang pun kini bebas mengambil troli yang dulunya kadang mereka sembunyikan, agar kita menggunakan jasa mereka.
Transportasi bandara kota hanya beberapa buah sedan yang dikelola koperasi angkatan udara. Mobil warna biru itu siap mengantar ke berbagai tempat di Makassar. Awal awal dioperasikannya bandara baru, pengaturan jasa angkutan kota di bandara sempat semrawut. Pintu keluar terminal bak pasar, penyedia jasa angkutan berebut penumpang. Lalu mereka di beri konter, inipun masih menimbulkan kebisingan, memanggil penumpang ke konter mereka. Kini para penumpang bisa memilih layanan hanya dengan menekan tombol di sebuah layar di pintu keluar.
Saya memilih rumah yang tak jauh dari bandara. Pertimbangan saat itu agar cepat tiba di bandara yang menjadi rutinitas Saya di tahun tahun 90 an. Meskipun dekat ,saya selalu berusaha tiba lebih awal di Bandara sehingga saya belum pernah ketinggalan pesawat di bandara ini, kalau delay yang sangat sering.
Minum kopi dan membaca koran salah satu cara saya mengisi waktu menunggu pesawat. Hanya satu dua restauran serta sebuah kios koran yang ada. Beberapa kartu kredit yang saya miliki memungkinkan saya menikmati lounge, bahkan bisa digunakan untuk beberapa orang. Pernah suatu ketika seorang teman saya ekspatriat menggunakan Gold Citi saya, karena kartu Amex nya ditolak di bandara ini.
Namun kini semua kartu kredit itu telah saya museumkan. Hanya sesekali saya masuk lounge, jika delay atau penerbangan masih beberapa jam. Saya lebih memilih coffe shop yang ada seperti saat ini.
Saya harus kembali ke coffee shop saat telah berada di dalam pesawat. HP yang tengah di charge tertinggal, untung Gate masuk saya menggunakan Garbarata , dan coffe shop tepat berada di depan Gate.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar