"
Di tengah ketegangan tiba tiba dua buah bayangan berkelabat dari sisi
mobil kami, sambil menghunus parang kedua pria ini bergerak cepat ke
arah depan. Kami masih dalam mobil menunggu. Kami tak bersenjata, tak
ada sesuatu bendapun yang dapat kami gunakan jika terjadi apa apa, yang
ada hanya kunci roda kata Roni saat kutanya tadi "
Hujan baru saja reda ketika mobil kami berbelok menuju malinau dipertigaan antara tanjung selor dan malinau. Jalan yang masih dalam pengerasan menandai jalan menuju malinau sementara jalan lurus ke arah tanjung selor masih mulus semulus jalan yang kami lalui dari berau, sebuah jembatan besar yang melintasi badan sungai menandai wilayah yang menuju salah satu kabupaten yang baru mekar 2012 lalu.
Serasa naik rollet coaster jalan yang mendaki, meliuk dan menurun tajam. Dikiri kanan jalan dihiasi perkebunan sawit, sesekali nampak pohon pohon besar yang selamat dari pembantaian hutan yang berlangsung dari th 70 hingga 90 an. Kini tak ada hutan angker kalimantan yang sering kita dengar, yang ada hanya beberapa kayu kurus teronggok ditepi jalan guna pembukaan lahan perkebunan baru.
Hari mulai gelap meski jam baru menunjukkan pukul 5 sore, agak berbeda di daerah berau memasuki wilayah Kalimantan utara pepohonan lebat masih banyak terlihat dan menghalangi matahari yang mulai condong ke barat. Alunan musik yang diputar Roni driver kami terdengar sumbang akibat guncnagan mobil di jalan yang berlubang.
Perjalanan diperkirakan akan memakan waktu sekitar 5 jam lagi. Dari berau ke Tanjung selor kami tempuh sekitar 2,5 jam. Tepat pukul 2.30 kami meninggalkan rumah makan padang yang berada di tanjung redeb ibu kota kab berau. Hanya sekitar 1 km jalan rusak setelah kemudian kembali kami menapaki jalan beraspal yang mulus.
Kami check out dari hotel Derawan indah pada pukul 6.00 untuk menuju desa suaran tempat kebun kakao pak toto berada. Sarapan lebih awal pada pukul 5.30. Tempat yang berjarak sekitar 28 km kami hanya dalam beberapa menit. Hamparan perkebunan kakao milik keluarga pak toto segera terlihat. 3 ekor anjing super aktif segera menyambut kami, pelajaran tentang anjing membuat sy waspada. Ekor anjing anjing itu tertekuk kebelakang pertanda penyambutan yang kurang baik. Untung pak toto segera tanggap dan menenangkan anjing anjing tersebut. Rimbunan buah kakao pada kebun yang terawat baik segera menghibur kami. Jumlah buah yang ada dalam satu pohon memungkinkan pak toto menghasilkan 2 mt per ha. Pria berusai ini mengelola 4 hektar kebunnya dengan 3 orang pekerja termasuk dirinya. Kebun kebun kakao yang berada masih keluarga dekat dengan pak toto.
Suaran adalah wilayah kakao kedua yang kami kunjungi sejak kami menjejakkan kaki di wilayah paling ujung pulau kalimantan ini. Sehari sebelumnya, saat mendarat kami langsung mengunjungi daerah Makasan. Kami mengunjungi beberapa kebun petani kakao. Para petani yang kebanyakan dari sulawesi ini mengeluhkan apresiasi harga yang mereka terima. Pada saat di sulawesi mendapatkan harga 27.500 kakao kering mereka hanya dihargai pada kisaran rp. 13.000 hingga 17.000. Pak udin salah seorang ketua kelompok tani mengantar kami ke kebunnya serta beberapa kebun petani disekitarnya. Beberapa kakao terlihat terserang penyakt, sementara pengolahan pasca panen juga masih rendah. Mereka masih menjemur menggunakan terpal belum menggunakan para para seperti yang umumnya dilakukan di daerah Sulawesi. Pria yang beberapa bulan belajar budi daya di daerah sandakan malaysia ini mengatakan bahwa mereka tidak melakukan fermentasi karena tak ada perbedaan harga yang mereka terima jika melakukan fermentasi.
Sebalik dari suaran rombongan yang terdiri dari saya, kiki dan afwan dari giz menuju kantor dinas perkebunan kab. Berau. Kami diterima di ruang rapat oleh sekertaris perkebunan dan pak Amran kabid perlindungan tanaman yang mewakili kepala dinas.
Kami baru saja melintasi batu km bertuliskan 177 malinau , berarti dari pertigaan tadi sekitar 200 km. Sehingga sy memprediksi total perjalanan yang kami tempuh via darat berau malinau sekitar 350 km jauhnya. Beberapa ruas jalan yang lubang akibat longsor membuat isi perut ikut berguncang. Jalan sempit yang diapit bukit dan jurang membuat driver kami yang orang bone ini harus lebih berhati hati.
Memasuki daerah jurang rebo, perut saya mulai terasa mual, seakan ada yang mendesak dari dalam. Sy merasa rendang yang berada di dalam perut seakan memaksa keluar kandang . Kombinasi jalan yang berliku dan mendaki, menjadi paduan serasi dengan jalan yang rusak dan berlubang untuk mengeluarkan isi perutku. Kepala pening menjadi tanda bahwa tubuh ini sangat kompak dengan kondisi medan yang ada. Musik yang terdengar bukan menghibur malah seakan memperlancar keluarnya isi perut yang bercampur mochachino saat berhenti dipertigaan tadi.
Sy masih tetap berusaha menahan muntahan akibat guncangan mobil ke kiri dan ke kanan akibat jalan yang semakin rusak parah, sesekali kami melewati aspal mulus sebelum masuk kubangan lagi. Belum selesai perasaan mual, kini sesuatu dari dalam yang lain memaksa untuk keluar. Saat melewati perkampungan tadi, saya sudah ingin mengingatkan driver untuk berhenti sejenak. Namun apa daya mobil tetap melaju hingga kini memasuki kawasan hutan di tengah gelap. Karena sudah tidak tahan dan kemungkinan untuk bertemu kampung sangat kecil, maka sy meminta supir untuk menepi. Terasa plong sesaat setelah melepas hajat di tengah hutan yang gelap, saya tak berani berada jauh dari mobil karena tidak mengetahui kondisi medan yang ada.
Perjalanan kembali kami lanjutkan, sesekali sy memejamkan mata namun tak bisa tertidur. Suasana jalan disekitar hutan kalimantan ini semakin gelap, jam masih menunjukkan pukul 8 malam ketika hujan rintik mulai membasahi badan jalan. Suasana hening di mobil kami tiba tiba berubah menjadi ketegangan , sebuah pohon besar menghalangi jalan kami. Insting kewaspadaan saya tiba tiba muncul, saya melarang semua penumpang untuk turun.
Di tengah guyuran hujan saya meminta supir untuk mundur dan berjaga jarak dari pohon, saya khawatir ini penghadangan. Kiki meminta Ronny menyalakan lampu besar untuk melihat lebih jelas, saya memperhatikan kalau kalau ada gerakan dari balik pohon. Saya meminta supir untuk maju kembali melihat lebih dekat, meski tak ada yang mencurigakan saya tetap melarang tim untuk turun dari mobil. Sekali lagi saya meminta rony untuk mundur dan mengambil jarak dari pohon yang tergeletak di tengah jalan. Saya meminta ia mengambil posisi yang memungkinkan kami berbalik arah jika terjadi sesuatu, kami memilih untuk menunggu mobil lainnya dari belakang kami.
Di tengah ketegangan tiba tiba dua buah bayangan berkelabat dari sisi mobil kami, sambil menghunus parang kedua pria ini bergerak cepat ke arah depan. Kami masih dalam mobil menunggu. Kami tak bersenjata, tak ada sesuatu bendapun yang dapat kami gunakan jika terjadi apa apa, yang ada hanya kunci roda kata Roni saat kutanya tadi. Setelah kedua pria ini mulai memotongi dahan dahan pohon yang ada di depan kami, maka barulah saya memberi tanda untuk turun, kami ikut turut membantu menyingkirkan dahan dahan tersebut. Kami bersyukur truk yang berhenti di belakang kami memiliki peralatan untuk menyingkairkan pohon tumbang ini, mereka rupanya sudah sangat mengenal medan sehingga telah siap dengan peralatan. Berbeda dengan kami tak seorangpun yang mengenal medan dengan baik.
Roni driver kani meski tinggal di Berau namun belum pernah melewati jalur ini, sementar Afwandi baru sekali melintasi jalur ini namun bukan pada malam hari namun siang hari. Jadi kami berempat belum ada yang mengenal medan daerah ini dengan baik. Berdasar hal ini maka saya sangat berhati hati dengan medan yang kurang kami kenal. Meski tadi sebuah sepeda motor telah berada di seberang jalan kami, saya ingin memastikan sesuatu benar benar aman baru kami bisa turun dari mobil.
Lepas dari ketegangan kami kembali memacu kendaraan menuju kota yang masih berjarak sekitar 100 km ke depan. Karena kurang paham medan hampir saja kami tersesat masuk ke daerah pertambangan. Supir alat berat pertambangan mengarahkan kami menuju kota Malinau. Jam menunjukkan pukul 11 ketika kami menyetuh jantung kota Malinau, suasana kota hening karena hampir semua penduduknya telah pulas di tengah suasana hujan rintik. Bersyukur sebuah warung di sekitar hotel masih buka sehingga semangkuk soto ayam panas segera menghangatkan perut yang sempat berontak di jalan tadi. Tak satupun warung yang kami temui di sepanjang jalan berau - malinau ini. Kasur empuk hotel Mahkota segera memanjakan tubuh yang lelah sepanjang ratusan kilometer ini.
Malinau 28 Oktober 2013
Hujan baru saja reda ketika mobil kami berbelok menuju malinau dipertigaan antara tanjung selor dan malinau. Jalan yang masih dalam pengerasan menandai jalan menuju malinau sementara jalan lurus ke arah tanjung selor masih mulus semulus jalan yang kami lalui dari berau, sebuah jembatan besar yang melintasi badan sungai menandai wilayah yang menuju salah satu kabupaten yang baru mekar 2012 lalu.
Serasa naik rollet coaster jalan yang mendaki, meliuk dan menurun tajam. Dikiri kanan jalan dihiasi perkebunan sawit, sesekali nampak pohon pohon besar yang selamat dari pembantaian hutan yang berlangsung dari th 70 hingga 90 an. Kini tak ada hutan angker kalimantan yang sering kita dengar, yang ada hanya beberapa kayu kurus teronggok ditepi jalan guna pembukaan lahan perkebunan baru.
Hari mulai gelap meski jam baru menunjukkan pukul 5 sore, agak berbeda di daerah berau memasuki wilayah Kalimantan utara pepohonan lebat masih banyak terlihat dan menghalangi matahari yang mulai condong ke barat. Alunan musik yang diputar Roni driver kami terdengar sumbang akibat guncnagan mobil di jalan yang berlubang.
Perjalanan diperkirakan akan memakan waktu sekitar 5 jam lagi. Dari berau ke Tanjung selor kami tempuh sekitar 2,5 jam. Tepat pukul 2.30 kami meninggalkan rumah makan padang yang berada di tanjung redeb ibu kota kab berau. Hanya sekitar 1 km jalan rusak setelah kemudian kembali kami menapaki jalan beraspal yang mulus.
Kami check out dari hotel Derawan indah pada pukul 6.00 untuk menuju desa suaran tempat kebun kakao pak toto berada. Sarapan lebih awal pada pukul 5.30. Tempat yang berjarak sekitar 28 km kami hanya dalam beberapa menit. Hamparan perkebunan kakao milik keluarga pak toto segera terlihat. 3 ekor anjing super aktif segera menyambut kami, pelajaran tentang anjing membuat sy waspada. Ekor anjing anjing itu tertekuk kebelakang pertanda penyambutan yang kurang baik. Untung pak toto segera tanggap dan menenangkan anjing anjing tersebut. Rimbunan buah kakao pada kebun yang terawat baik segera menghibur kami. Jumlah buah yang ada dalam satu pohon memungkinkan pak toto menghasilkan 2 mt per ha. Pria berusai ini mengelola 4 hektar kebunnya dengan 3 orang pekerja termasuk dirinya. Kebun kebun kakao yang berada masih keluarga dekat dengan pak toto.
Suaran adalah wilayah kakao kedua yang kami kunjungi sejak kami menjejakkan kaki di wilayah paling ujung pulau kalimantan ini. Sehari sebelumnya, saat mendarat kami langsung mengunjungi daerah Makasan. Kami mengunjungi beberapa kebun petani kakao. Para petani yang kebanyakan dari sulawesi ini mengeluhkan apresiasi harga yang mereka terima. Pada saat di sulawesi mendapatkan harga 27.500 kakao kering mereka hanya dihargai pada kisaran rp. 13.000 hingga 17.000. Pak udin salah seorang ketua kelompok tani mengantar kami ke kebunnya serta beberapa kebun petani disekitarnya. Beberapa kakao terlihat terserang penyakt, sementara pengolahan pasca panen juga masih rendah. Mereka masih menjemur menggunakan terpal belum menggunakan para para seperti yang umumnya dilakukan di daerah Sulawesi. Pria yang beberapa bulan belajar budi daya di daerah sandakan malaysia ini mengatakan bahwa mereka tidak melakukan fermentasi karena tak ada perbedaan harga yang mereka terima jika melakukan fermentasi.
Sebalik dari suaran rombongan yang terdiri dari saya, kiki dan afwan dari giz menuju kantor dinas perkebunan kab. Berau. Kami diterima di ruang rapat oleh sekertaris perkebunan dan pak Amran kabid perlindungan tanaman yang mewakili kepala dinas.
Kami baru saja melintasi batu km bertuliskan 177 malinau , berarti dari pertigaan tadi sekitar 200 km. Sehingga sy memprediksi total perjalanan yang kami tempuh via darat berau malinau sekitar 350 km jauhnya. Beberapa ruas jalan yang lubang akibat longsor membuat isi perut ikut berguncang. Jalan sempit yang diapit bukit dan jurang membuat driver kami yang orang bone ini harus lebih berhati hati.
Memasuki daerah jurang rebo, perut saya mulai terasa mual, seakan ada yang mendesak dari dalam. Sy merasa rendang yang berada di dalam perut seakan memaksa keluar kandang . Kombinasi jalan yang berliku dan mendaki, menjadi paduan serasi dengan jalan yang rusak dan berlubang untuk mengeluarkan isi perutku. Kepala pening menjadi tanda bahwa tubuh ini sangat kompak dengan kondisi medan yang ada. Musik yang terdengar bukan menghibur malah seakan memperlancar keluarnya isi perut yang bercampur mochachino saat berhenti dipertigaan tadi.
Sy masih tetap berusaha menahan muntahan akibat guncangan mobil ke kiri dan ke kanan akibat jalan yang semakin rusak parah, sesekali kami melewati aspal mulus sebelum masuk kubangan lagi. Belum selesai perasaan mual, kini sesuatu dari dalam yang lain memaksa untuk keluar. Saat melewati perkampungan tadi, saya sudah ingin mengingatkan driver untuk berhenti sejenak. Namun apa daya mobil tetap melaju hingga kini memasuki kawasan hutan di tengah gelap. Karena sudah tidak tahan dan kemungkinan untuk bertemu kampung sangat kecil, maka sy meminta supir untuk menepi. Terasa plong sesaat setelah melepas hajat di tengah hutan yang gelap, saya tak berani berada jauh dari mobil karena tidak mengetahui kondisi medan yang ada.
Perjalanan kembali kami lanjutkan, sesekali sy memejamkan mata namun tak bisa tertidur. Suasana jalan disekitar hutan kalimantan ini semakin gelap, jam masih menunjukkan pukul 8 malam ketika hujan rintik mulai membasahi badan jalan. Suasana hening di mobil kami tiba tiba berubah menjadi ketegangan , sebuah pohon besar menghalangi jalan kami. Insting kewaspadaan saya tiba tiba muncul, saya melarang semua penumpang untuk turun.
Di tengah guyuran hujan saya meminta supir untuk mundur dan berjaga jarak dari pohon, saya khawatir ini penghadangan. Kiki meminta Ronny menyalakan lampu besar untuk melihat lebih jelas, saya memperhatikan kalau kalau ada gerakan dari balik pohon. Saya meminta supir untuk maju kembali melihat lebih dekat, meski tak ada yang mencurigakan saya tetap melarang tim untuk turun dari mobil. Sekali lagi saya meminta rony untuk mundur dan mengambil jarak dari pohon yang tergeletak di tengah jalan. Saya meminta ia mengambil posisi yang memungkinkan kami berbalik arah jika terjadi sesuatu, kami memilih untuk menunggu mobil lainnya dari belakang kami.
Di tengah ketegangan tiba tiba dua buah bayangan berkelabat dari sisi mobil kami, sambil menghunus parang kedua pria ini bergerak cepat ke arah depan. Kami masih dalam mobil menunggu. Kami tak bersenjata, tak ada sesuatu bendapun yang dapat kami gunakan jika terjadi apa apa, yang ada hanya kunci roda kata Roni saat kutanya tadi. Setelah kedua pria ini mulai memotongi dahan dahan pohon yang ada di depan kami, maka barulah saya memberi tanda untuk turun, kami ikut turut membantu menyingkirkan dahan dahan tersebut. Kami bersyukur truk yang berhenti di belakang kami memiliki peralatan untuk menyingkairkan pohon tumbang ini, mereka rupanya sudah sangat mengenal medan sehingga telah siap dengan peralatan. Berbeda dengan kami tak seorangpun yang mengenal medan dengan baik.
Roni driver kani meski tinggal di Berau namun belum pernah melewati jalur ini, sementar Afwandi baru sekali melintasi jalur ini namun bukan pada malam hari namun siang hari. Jadi kami berempat belum ada yang mengenal medan daerah ini dengan baik. Berdasar hal ini maka saya sangat berhati hati dengan medan yang kurang kami kenal. Meski tadi sebuah sepeda motor telah berada di seberang jalan kami, saya ingin memastikan sesuatu benar benar aman baru kami bisa turun dari mobil.
Lepas dari ketegangan kami kembali memacu kendaraan menuju kota yang masih berjarak sekitar 100 km ke depan. Karena kurang paham medan hampir saja kami tersesat masuk ke daerah pertambangan. Supir alat berat pertambangan mengarahkan kami menuju kota Malinau. Jam menunjukkan pukul 11 ketika kami menyetuh jantung kota Malinau, suasana kota hening karena hampir semua penduduknya telah pulas di tengah suasana hujan rintik. Bersyukur sebuah warung di sekitar hotel masih buka sehingga semangkuk soto ayam panas segera menghangatkan perut yang sempat berontak di jalan tadi. Tak satupun warung yang kami temui di sepanjang jalan berau - malinau ini. Kasur empuk hotel Mahkota segera memanjakan tubuh yang lelah sepanjang ratusan kilometer ini.
Malinau 28 Oktober 2013
Andi Amri Marzuki Wah ada penampakan ya pak
Just landed @Sepinggan Balikpapan by GA669 CRJ bombardir 1000 from Tarakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar