Minggu, 31 Juli 2016

Selalu ada rindu di Yogya

(Berburu Kuliner)

Pesawat menyeruak awan , nampaklah kali kulon progo yang meliuk membelah Yogya. Cuaca cerah menyambut kedatangan Saya ke Yogya kembali. Waktu menunjukkan pukul 3 sore ketika menjejakkan kaki di terminal kedatangan bandara Adi Sucipto. Kuliner menjadi top mind saya saat ini, maka pilihan jatuh pada Sate Kambing dan Tongseng Monjali yang maknyus. Meski beberapa bulan lalu baru kembali dari kota ini, namun kerinduan pada kuliner kota gudeg ini selalu membuncah. Saat ini kesempatan berkunjung beberapa hari memberi waktu untuk menjajal kuliner Yogya yang sudah top markotop sejak jaman bahela.

Di pagi hari berikutnya langkah kuarahkan menuju Soto Ayam pak Min , setelah berkeliling kota Yogya sebagai ritual rutin maka Saya menjajal House of Ruminten yang direkomendasikan teman. Yogya yang tak pernah kering akan kreativitas termasuk dalam hal kuliner. Wangi bunga dan dupa segera tercium begitu memasuki warung makan yang berada di pojok jalan daerah kota baru ini. Foto sang pemilik yang berkain kebaya terpampang di pintu masuk berdampingan dengan delman yang menjadi ornamen. Saya tak membutuhkan waktu lama berada di ruang transit yang dibuat menyerupai ruang tunggu terminal, memag warung ini cukup terkenal sehingga membuat pengunjung harus antri. Saya tidak terlalu terusik dengan bau dupa dan menyan seperti yang dikeliuhkan seorang teman, karena saya sudah terbiasa dengan aroma seperti ini saat menetap di Bali.

Pilihan saya jatuh pada Gudeg dan Dawet , saya hanya merogoh rp. 50.000 untuk kami bertiga malam itu. Kebetulan saya bertemu dengan kawan satu daerah semasa kecil di Bulukumba Sulawesi Selatan. Pelayan berbusana Jawa  hilir mudik melayani pelanggan yang cukup ramai malam itu. Saya tau dari kawan saya bahwa sang pemilik adalah seorang transgender, dan hal ini adalah hal lumrah di kota pelajar ini seperti didik nini towok dan lain lain. Saya tidak terlalu asing dengan daerah kota baru ini, karena beberapa tahun yang lalu saya tinggal di sekitar wilayah ini. Saya menetap di Yogya beberapa tahun lamanya pada awal awal tahun 90 an.

Hari kertiga seperti biasa saya berkeliling Malioboro, mampir menikmati sepiring Pecel di UGM. Seperti dahulu saat menikmati SGPC (Sego pecel) kebetulan juga sempat berdomisili di daerah Bulak Sumur saat itu. Saya menyempatkan diri mengitari daerah tempat tinggal saya sebelum akhirnya kembali . Menu makan siang pilihan saya jatuh pada Empek empek Palembang Mirota Kampus, hm perfecto. Kapal selam dan Lenjer segera terjejal ke mulut saya, kenyal namun empuk dan gurih. Bukan hanya itu harga yang murah membuat Yogya selalu terkenang sebagai surga kuliner. Saya sengaja tidak terlalu mengenyangkan diri agar masih bisa menjajal lebih banyak kuliner Yogya kali ini. Setelah berkeliling kota dan beristirahat, maka pada malam hari keinginan menjajal pecel akhirnya tercapai juga.

Harus saya akui kota ini yang mengajarkan saya mengkomsumsi lele dan Tongseng. Kami dari sulawesi tidak terbiasa mengkomsumsi ikan berkumis ini. Bisa dimaklumi karena kami terbentang di pesisir pantai yang kaya akan ikan laut, sehingga tidak terlalu doyan dengan ikan ikan sungai apalagi lele. Saya sudah mengingatkan Ikka yang mengantar saya untuk mencari lele yang maknyus. Rekomendasinya tidak meleset, Ia membawa saya ke warung Lele Lela. selain maknyus warung lele ini mampu meramu konsep lele yang lain dari yang lain. kalau jaman kami dulu lele hanya di goreng as is, paling paling jadi penyet. Namun di Lele lela ini berbagai jenis diversifikasi lele ada di sini. Namun saat bercanda dengan pelayan dengan memesan Juz lele, ia tersipu dan mengatakan maaf pak belum ada juz lele.

Matur nuwun Ikka, matur nuwun Yogya....Selalu ada rindu di sini. I will be back

Yogya 21 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar